Senin, 25 Juli 2011

FIQH SIYASAH DUSTURIAH I ( KONSTITUSI )


A. OBJEK KAJIAN FIQH SIYASAH

1.         Siyasah dusituriyah, yaitu hokum yang mengatur hubungan antara warga Negara dengan lembaga Negara yang satu dengan warga Negara yang lain dalam batas-batas administrasi suatu Negara. Didalamnya mencakup pengangkatan imam, hokum pengangkatan imam, syarat ahlu ahlwalahli, syarat imam pemberhentian imam, persoalan bai’ah persoalan hujaroh (kementrian).
2.         Siyasah Dauliyah (hubungan internasional), yaitu hokum yang mengatur antara waga Negara dengan lembaga Negara dari Negara yang satu dengan warga Negara dan Negara lain. Didalamnya mencakup Hubungan waktu damai (politik, ekonomi, kebudayaan, kemasyarakatan) dan hubungan dalam waktu perang.
3.         Siyasah Maliyah, yaitu hokum yang mengatur tentang penasukan, pengelolaan, dan pengeluaran uang milik Negara.[1]

B.     SIYASAH DUSTURIYAH I
Ialah hubungan antara pemimpin di satu tempat atau wilayah dan rakyatnya di pihak lain serta kelembagaan-kelembagaan yang ada didalam masyrakatnya. Oleh karena itu biasanya dibatasi hanya membahas persoalan pengaturan dan perundang-undangan yang dituntut dengan prinsip-prinsip agama dan merupakan realisasi kemasyarakatan manusia serta memenuhi kebutuhannya.

v   sumber-sumber fiqh dusturiyah :

a.       al-qur’an, yaitu ayat-ayat yang berhubungan dengan prinsip-psrinsip kehidupan masyarakat.
b.      Al-hadits, terutama hadits-hadit yang berhubungan dengan imamah dan kebijaksanaan-kebijaksanaan Rasul SAW didalam menerapkan hokum di negeri Arab.
c.       Kebijakan-kebijakan Khulafau Rasyidin didalam mengendalikan pemerintahan, meskuipun mereka mempunyai perbedaan didalam gaya pemerinyahannya sesuai dengan pembawaan sifat dan wataknya masing-masing, tetapi ada kesamaan alur kebijakan yaitu Reorientasi.
d.      Ijtihad ulama didalam mencapai kemaslahtan umat, misalnya haruslah terjamin dan terpelihara dengan baik.
e.       Adat kebiasaan suatu bangsa, yang tidak beretentangan dengan prinsip-prinsip al-qur’an dan hadits. Ada kemungkinan adat kebiasaan semacam ini tidak tertulis yang disebut konversi.[2]


Fiqh siyasah dusturiah mencakup bidang-bidang sebagai berikut :
           
1.      Imamah, Hak, Dan Kewajibannya.
Menurut al-mawardi adalah suatu kedudukan yang diadakan untuk mengganti tugas kerabian dalam memelihara agama dan mengendalikan dunia.


Berikut adalah istilah khalifah atau imam yang termuat dalam al-Qur'an dan hadis. Menurut al-Qur'an istilah khalifah yang terdapat dalam beberapa surat, antara lain:

وإذ قال ربك للملائكة إني جاعل في الأرض خليفة قالوا أتجعل فيها من يفسد فيها ويسفك الدماء ونحن نسبح بحمدك ونقدس لك قال إني أعلم ما لا تعلمون


Artinya:
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". (Q.S. Al-Baqarah/2:30)[3]


Artinya:
"Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barang siapa yang kafir, maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. Dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekkafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka." (Q.S. Al-Fathir/35:39).[4]

ü  Hak rakyat : hak persamaan. Hak diberlakukan secara adil, hak kebebasan berpikir, beraqidah, berpendapat, berbicara, berpendidikan dan memiliki tempat tinggal.
ü  hak imam : hak dibantu, ditaati, dan mendapatkan imbalan.
ü  Kewajiban imam
a)   Memelihara agama
b)   Menetapkan hokum-hukum diantara orang-orang yang bersengketa
c)   Memerangi orang-orang yang menentang agama islamsetelah melakukn dakwah secara baik-baik
d)  Mengajarkan umat untuk menjaga agama dengan baik.
2.       Bai’at

Menurut ibnu khaldun adalah mereka apabila membai’atkan seseorang Amir danmengikatkan perjanjian. Mereka meletakkan tangan-tangan mereka di tangannya untuk mengikrarkan perjajnjian. Bisa dikatakan, bai’at itu ketika ada atau ketika terjadi masalah yang berhubungan dengan pemerintahan kemudian membuat perjanjian untuk tidak mengulngi kaesalahn tersebut. Bai’at dilakukan oleh Ahlul ahli wa al-aqd.

3.      Ahl Al-Ahl Wa Al-Aqd (Perwakilan)
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli, bahwa ahl al-ahl wa al-aqd ialah :
a.                pemegang kekuasaan yang mempunyai wewenang memilih dan membai’at imam.
b.               mengarhkan masyarakat pada kemaslahatan.
c.                mempunyai wewenang membuat undang-undang
d.                tempat konsultasi orang yang mempunyai keluhan tentang pemerintahan.
e.                mengawasi jalannya pemerintahan.[5]

Dari beberapa uraian para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa ahl al-ahl wa al-aqd adalah sebuah pemegang kekuasaan tinggi dalam pemerintahan yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab dalam menjalankan pemerintahannya itu juga berwenang dalam membuat undang-undang.

Menurut Abd kadir adalah :
v  Al-sultan Al-Tanjhidiyah (eksekutif)
v  Al-sultan Al-Tasyri’iyah (Legislatif)
v  Al-sultan Al-Qadha’iyah (Yudikatif)
v  Al-sultan Al-Maaliyah (bank sentral)
v  Al-sultan Al-Mu’raqabah (konsultatif)[6]


4.                      WIZARAH
Wizarah berasal dari kata Al-wijru yang artinya beban. Maka dalam hal ini seorang wazir memikul beban pemerintahan yang harus di emban dari seorang imamah. Wazir juga disebut sebagai pembantu imam dalam menjalankan roda pemerintahan.
Wazir dibagi menjadi dua, yaitu:

ü  Wazir taf widl
a)      Boleh ikut campur dalam masalah peradilan
b)      Boleh mengangkat pejabat tinggi
c)      Punya kekuasaan mengumumkan perang
d)     Punya wewenang mengeluarkan uang

ü  Wazir tanfidz
a)                              tidak bisa ikut campur dalam masalah peradilan
b)                              tidak boleh mengangkat pejabat tinggi
c)                              tidak mempunyai kekuasaan mengumumkan perang
d)                             tidak mempunyai wewenang mengeluarkan uang.

Jadi, dengan demikian dapat diartikan bahwa wazir tafwidl adalah perdana menteri (wakil presiden) sedangkan wazir tanfidz hanya menteri biasa.[7]


















DAFTAR PUSTAKA

Muchtar Affandi, ilmu-ilmu kenegaraan, Alumni, Bandung, 1971, Hal. 157.

Ahmad, Zainal Abidin, Membangun Negara Islam, Yogyakarta, Pustaka Iqra:2001Konsepsi Negara Bermoral, Jakarta: Bulan Bintang, 1975

Al-Maududi, Abul A’la, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, Bandung: Mizan, 1993

 Khilafah dan Kerajaan, Bandung: Mizan, 1984

http://pusat-akademik.blogspot.com/2008/09/siyasah-dan-qanun-dusturiyah-politik.html



[1] Ahmad, Zainal Abidin, Membangun Negara Islam, Yogyakarta, Pustaka Iqra:2001Konsepsi Negara Bermoral, Jakarta: Bulan Bintang, 1975

[2] Muchtar Affandi, ilmu-ilmu kenegaraan, Alumni, Bandung, 1971, Hal. 157.

[3] Q.S. Al-Baqarah/2:30
[4] Q.S. Al-Fathir/35:39
[5] Khilafah dan Kerajaan, Bandung: Mizan, 1984

[6] Al-Maududi, Abul A’la, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, Bandung: Mizan, 1993

[7] http://pusat-akademik.blogspot.com/2008/09/siyasah-dan-qanun-dusturiyah-politik.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar